Selasa, 02 Februari 2010

DAUR TAFSIR KONTEKSTUAL

by Toto Rahardjo
Semua orang-jamaah sangat diperbolehkan menafsir, bahkan semestinya wajib. Karena proses tafsir merupakan bagian untuk menghidupkan akal budi. Tafsir juga merupakan kaca benggala sensitivitas dan cerminan setiap orang pada pemahaman, pengalaman, dan sekaligus cermin dari pandangan hidupnya.

Tentu yang menarik adalah sebuah proses menafsir bersama dengan cara, sudut, dan jarak pandang yang beda merupakan pertarungan pemaknaan pada realitas dan pada akhirnya menjadi kesepakatan dan kesepahaman bersama.
Metode Daur Tafsir

Langkah pertama adalah tentukan bab mana dari ayat-ayat yang berkaitan dengan maiyah yang akan ditafsir dengan dimulai dari contoh apa yang dirasakan, yang dilihat, yang didengar, apa yang dialami. Langkah kedua adalah coba ungkapkan dari realitas yang diangkat di atas (apa, siapa, kapan, berapa). Langkah ketiga adalah mulailah menganalisis (menafsir)–mengapa terjadi seperti itu, mengapa ada fakta, data, fenomena seperti itu. Pada langkah ini dimensi warna, keluasan, aliran pikiran akan muncul–juga pada kedalaman. Langkah keempat adalah memasuki tahap kesimpulan. Kesimpulan akan meluas dan mendalam ditentukan seberapa kelengkapan data, tingkat kekritisan analisis serta bagaimana pendalaman ayat-ayat tersebut pada realitasnya. Langkah kelima adalah sebuah langkah persepakatan–lalu mau apa, bagaimana sebaiknya.
Kerja Tafsir Kontekstual merupakan Proses Pendidikan

Sebagai contoh, tradisi Katholik membagi 2 untuk urusan tafsir yakni Imam dan kaum awam. Awam tidak diperkenankan menafsir–namun pada kenyataannya apa mungkin manusia tidak menafsir? Manusia yang tidak diperkenankan menafsir sama artinya dengan menafikan harkatnya sebagai manusia (dehumanisasi). Namun dari pengalaman itu banyak orang Katholik yang justru menjadi pionir metode-metode partisipatif termasuk mengembangkan teologi pembebasan. Jadi pada dasarnya proses-proses dehumanisasi semacam itu mendua, yakni terjadi di mayoritas umat dan juga atas diri kaum imam.

Dengan menyimak pengalaman tersebut kita menyadari bahwa menafsirkan bersama di kalangan jamaah adalah upaya proses pendidikan yang tertuju pada fitrah manusia sejati yakni menjadi pelaku (subyek) bukan penderita (obyek), sejalan dengan nilai-nilai yg terkandung dalam maiyah. Jamaah maiyah harus menggeluti dunia dan realitasnya dengan penuh daya cipta dengan menggunakan energi maiyah sehingga lahir sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran (language of thought), yakni pada hakekatnya jamaah mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya (yang didalamnya terkandung relasi Allah dan Nabi) dengan bekal akal pikiran, budi, dan tindakannya. Dengan menafsir dengan cara praxis sesungguhnya jamaah tengah memaknai dunia dan realitasnya.

Bertolak tentang manusia dan maiyah, kemudian merumuskan gagasan-gagasan tentang hakikat maiyah dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dengan situasi di sekelilingnya (pembaharuan), maka proses tafsir haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas jamaah dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tetapi harus dua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu diperlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yg tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya yang obyektif. Maka obyektifitas dan subyektifitas bukan dua hal yang bertentangan, bukan dikotomi. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif yakni fungsi dialektis dalam diri seseorang dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Maka hubungan dialektis tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Maka proses tafsir ayat-ayat maiyah harus melibatkan tiga unsur dalam hubungan dialektis yang lumintu:

* pemandu
* jamaah
* realitas dunia

Langkah awal yang paling menentukan dalam proses menafsir ayat-ayat maiyah secara kontekstual yakni harus dilakukan secara terus menerus–selalu “mulai dan mulai lagi”, maka akan ditemukan proses SEHATI (inherent). Maka hakikat dari proses menafsir merupakan dunia kesadaran yg tidak boleh berhenti, harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam yakni “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consciousness)–inti dari kesadaran manusia yakni intensionalitas pengalaman akan realitas. Jika seseorang/jamaah sudah mencapai tingkat kesadaran tertinggi maka sudah masuk ke dalam proses pengertian bukan proses menghafal semata-mata.

Orang-orang/jamaah yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan sesuatu “sistem kesadaran”. Sedangkan orang/jamaah yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakan kembali pada saat itu.

Arti penting kata-kata yang dinyatakan seseorang/jamaah sekaligus mewakili kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar dengan cara yang benar adalah menyatakan kata-kata yang memang disadari atau disadari maknanya, disitulah arti memahami realitas. Kata-kata yang dinyatakan sebagai bentuk pengucapan dari bentuk kesadaran, bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa melalui proses refleksi, bukan slogan, namun berasal dari perbendaharaan kata-kata orang/jamaah itu sendiri untuk menamakan dunia yg dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhana. []

KHOTBAH DI PASAR

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. Dengan segala perbuatan itu allah akan memberikan kebaikan bagi yg terbaik amalannya dan akan menambahkan karunianya, allah memberikan rizqi kepada orang2 yang dkehendakinya dan tanpa ada batasnya.

Hadirin sidang jum’at yg dimulyakan allah

Dijelaskan dalam surat annur ini bahwa kesibukkan bisnis, bekerja, berdagang dan aktifitas usaha lainnya janganlah sampai melupakan dan melalaikan kita dari dzikrullah, melalaikan kita dari menegakkan solat dan menunaikan zakat, dan disebutkan selanjutnya bahwa allah akan melimpahkan kebaikan bagi yg terbaik perbuatannya, dan menambahkan karunianya kepadanya, allah memberikan rizqi kepada orang2 yang dkehendakinya dan tidak akan membatas2i.

Dzikrullah dalam pemahaman kita adalah berdzikir kepada allah, dan sebaik2 dzikir adalah kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Tiada tuhan selain allah atau tiada ilah selain allah, pemahamannya bahwa allah berkehendak memuliakan dan membebaskan manusia dari segala keyakinan semu berbentuk kehormatan, kepentingan, harta dan kedudukan yg meruntuhkan martabat diri sebagai mahluk yg paling mulia. Dan menetapkan semua amal perbuatan harus berlandaskan karena allah semata,

Kalimat tauhid ini adalah kalimat aktif, yang mendorong manusia menyatukan tujuannya bahwa hidup ini hanya untuk allah semata yg berdampak berbuat baik dalam segala aktifitas dan mengajak semua manusia untuk beribadah karena allah semata.

Kalimat tauhid yg sering kita baca dalam setiap tahlilan ini adalah proklamasi kemerdekaan martabat kemanusiaan yg nilainya jauh melampaui makna kemerdekaan negara2 modern sekarang ini, jauh melampaui deklarasi2 dan hak asasi manusia. Dengan seluruh penghayatan dan pengamalan kita maka ucapan laa ilaaha illallah akan memberikan daya getaran energi pada jiwa setiap manusia hingga tidak akan ada yg mampu menguasai dan mendominasi pikiran, hati dan perbuatan kita. Kecuali hanya karena allah semata.

Hadirin sidang jum’at yg dimulyakan allah

Kalimat tauhid ini juga menjadi kalimat syahadat, suatu kalimat prasyarat ketika masuk islam, ikrar kalimat ini sering kita baca dalam sholat lima waktu yakni disaat tahiyat awal dan tahiyat akhir, ucapan asyhadu an laa ilaaha illah, yakni aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah yg diucapkan penuh penghayatan akan menjadi doktrin yg maha dahsyat yg akan menghidupkan qolbu setiap jiwa, ia adalah energi raksasa yg tercipta dari hukum kekekalan energi.

Apabila seseorang melaksanakan sholat lima waktu, dalam satu hari dia membaca sebanyak 9 kali, dan sebulan dia membaca sebanyak 270 kali dan setahun sebanyak 3.240 kali, dan jika ini dibaca sumur hidupnya berapa energi yg banyak yg ditimbulkannya. Apalagi jika dzikrullah ini diucapkan setiap saat… subhanallah.

dalam sebuah hadits qudsi, Allah menyatakan ‘wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada_Ku, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan, dan Aku lapangkan tanganmu dari kesibukan, jika tidak, maka akan Aku penuhi hatimu dengan kefakiran, dan Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan’




Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. (QS. Thaha:132)

PEMETAAN PARADIGMA PEMUDA CILEGON

Ini upaya pemetaan dan pengklasifikasian paradigma yang dimiliki kaum pemuda di kota cilegon di tengah dinamika sosial ekonomi politik dewasa ini, terutama menjelang pilkada di daerah ini, bagaimana reaksi mereka menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan politik kekuasaan dan industri yang sedang terjadi.

Pemetaan ini tidak mengambil dari referensi manapun, dan juga tidak dari sumber manapun, tulisan ini hanya mangambil dari analisa konflik yang sering terjadi, analisa dari perseteruan di alam nyata dan alam maya, juga analisa dari kenyataaan pemuda yang ada di cilegon.

Lemah secara akademis ya mungkin lemah, justru dengan kekurangan ini mengharapkan koreksi total dan kritik total guna perubahan paradigma dan ideologi kaum pemuda di cilegon.

Sebelum kita klasifkasikan paradigma kaum muda ini, alangkah lebih baik jika kita tarik persamaan persepsi terlebih dahulu pengertian orang-orang yang termasuk sebagai kategori pemuda.

Menjadi pemahaman umum bahwa orang-orang yang disebut pemuda adalah orang-orang yang berusia 17 tahun sampai dengan 40 tahun, namun bagaimana jika paradigma pemuda itu juga dimiliki oleh orang-orang yang berusia diatas itu? Dalam tulisan ini kita tidak meganalisa kaum tua yang berparadigma sebagaimana kaum muda, kita hanya mencoba melihat dengan nyata paradigma kaum muda yang ada di cilegon saat ini.

Pemuda Konservatif Fanatik

Dari segi kuantitas jumlah pemuda yang memiliki paradigma ini lebih mendominasi di cilegon, mereka berbuat sesuai dengan potensi dirinya, merasa cukup dengan kapasitas yang dimilikinya dan jarang mampu melihat peluang dan kesempatan yang ada. mayoritas kalangan ini kurang memiliki sumberdaya ekonomi, walaupun orang tuanya berekonomi berkecukupan, mereka tidak diajarkan memiliki mimpi apalagi visi, tak jarang yang putus sekolah bukan karena tidak mampu,

Sebagian dari mereka memiliki mental minder dan inferior, lebih mengutamakan struktur emosional dalam bertindak dan mengambil keputusan. Dalam menyikapi fenomena industri dan dinamika politik kekuasaan, kalangan ini sungguh banyak berharap ikut terlibat dalam dinamika aktifitas dua kosmologi ini, motifasi keterlibatannya ini bukan hanya menyangkut kebutuhan hidup saja, namun juga status sosial yang akan didapat dalam stuktur sosial masyarakat cilegon.

Keberadaanya sering dieksploitasi oleh berbagai interes. Sering diklaim sebagai massa aktif yang pro kekuasaan atau pro perubahan, Imej dan stereotip keburukan selalu ditimpakan kepada mereka, sering disalahkan, sering disebut idealis, kampungan, pemalas, bodoh, gengsi, pelanggar aturan dan etika.

Pemuda-pemuda ini memiliki potensi militansi ya tinggi, solidaritas yang tinggi dan loyalitas yang patut diperhitungkan, mereka kaum pekerja keras, dalam aktifitas keagamaan kalangan ini sangat menjaga kesucian, memendam nilai-nilai tradisi yang sedang mengalami transisi, kecenderungan menjadi liberal sangat potensial di kalangan ini di saat kegamangan menghadapi tuntutan jaman dan westernisasi budaya mendistorsi tradisi di kalangan ini. Merekalah sebenarnya basis utama empowering perubahan dalam masyarakat.

Pemuda Liberal Pragmatis

Pemuda yang memiliki paradigma ini lebih pragmatis, mereka kebanyakan memiliki sumberdaya ekonomi dari orang tua atau keluarganya, sehingga dalam perkembangannya sangat mudah mendapatkan akses prosedural dunia industri dan pemerintahan, namun bagi yang tidak memiliki sumberdaya, justru mereka merepotkan orang tua dan keluarga bahkan masyarakat, tak jarang orang tuanya yang hanya buruh rendahan atau tukang cuci ternyata anaknya bergaya hidup layaknya selebriti.

Para pemuda ini menyukai kebebasan dalam bergaul, berpikir dan bertindak, senang dengan kemapanan dan kenyamanan sehingga pemuda ini cenderung berafiliasi dengan kekuasaan. Kalaupun vis a vis itu karena kepentingan politik belaka,

Banyak dari kalangan ini mengeksploitasi pemuda konservatif, baik dalam ranah politik, ekonomi dan sosial, di mata pemuda konservatif kalangan ini memiliki status sosial yang tinggi, tak jarang pemuda konservatif mengikuti gaya hidup dan selera pemuda-pemuda ini yang dianggap memiliki budaya lebih maju.

Mereka lebih apresiatif dengan kalangan yang berlevel ekonomi yang sama, sebagian dari mereka gandrung dengan dogma-dogma agama, dan menikmati religiusitas dengan norma-norma yang selalu menguap dalam diskursus, sikap ini didukung dengan faktor ekonomi yang cukup untuk tenang dalam internalisasi spiritualisme.

Pemuda Revivalis Radikal

Pemuda ini lebih banyak menyalahkan kebijakan kekuasaan dan otoritas industri, pemuda ini memiliki impian yang idealis, terkadang idealismenya hanya menjadi wacana yang penerjemahannya dan pengejawantahannya terbentur dengan realita yang ada, sehingga sering dikecam pandai berteori tapi tak mampu berbuat, pandai mengkritik tapi tak memberi solusi.

Dalam ranah sosial kalangan ini seakan memiliki jarak dengan masyarakat, seringkali menuding masyarakat tidak peka dengan arogansi kekuasaan dan tidak mendukung upaya-upaya perubahan yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat miskin.
Pemuda-pemuda ini gandrung dengan ideologi yang progresif revolusioner, mereka cenderung mengidolakan tokoh-tokoh revolusioner, dan berpendapat dengan pendapat-pendapat yang radikal.

Dalam perspektif keagamaanya kalangan ini juga cukup radikal namun cenderung sekuler, keradikalannya dalam pemahaman agamanya tidak lantas mencita-citakan penegakan syariah dan khilafah, namun keradikalannya akan berkorelasi dan berkopendensi dengan gerakan-gerakan radikal keagamaan.

Keberadaanya sebetulnya menguntungkan kekuasaaan, banyak ide dan masukan serta pelurusan kebijakan yang menyimpang. Secara tidak langsung pemuda-pemuda radikal ini mitra pemerintah yang galak dan sadis, pemuda ini adalah orang-orang garda terdepan dalam mengoreksi kebijakan, kalangan inilah yang aktif melakukan advokasi dan aksi-aksi demonstrasi dalam menuntut keadilan dan kebenaran.

Pemuda Transformatif Praktik

Perubahan bagi pemuda ini adalah upaya terus menerus dalam pemberdayaan masyarakat, baik dalam pengorganisiran, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, maupun kreatifitas seni.

Jumlah kalangan ini tidak banyak, Seringkali kalangan ini berdampingan dengan kekuasaan dalam menjalankan program-program (proyek-proyek) yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ataupun dengan kalangan industri dalam proyek-proyek pribadinya

Dalam paradigma kalangan ini, kekuasaan dan kebijakan politik selama tidak berpihak ke masyarakat adalah musuhnya, arogansi indutri yang merugikan kehidupan masyarakat adalah musuhnya,

Kalangan ini cenderung liberal dalam perspektif keagamaannya, spiritualnya lebih cenderung kepada empowering masyarakat dalam memahami hak-haknya dan penegakan alam demokrasi di daerahnya,

Kesulitan yang selalu menimpa kalangan ini adalah persoalan logistik operasional alias keuangan, maka tak heran jika gerakan-gerakannya cenderung pragmatis dan kompromisitis dengan kekuasaan, kalangan inipun terbelah dalam dua sisi, satu sisi memiliki trayek ke arah habitat pemuda yang berparadigma liberal pragmatis, dan sisi yang lain ke trayek pemuda berparadigma revivalis radikal.

Demikianlah analisa paradigma kepemudaan yang terjadi di cilegon, mungkin saja paradigma ini berlaku juga di tingkat propinsi atau mungkin di tingkat nasional, tapi dalam dua skala yang disebut terakhir mungkin berbeda dalam situasi sosio-kultur-politiknya.

12 tahun sudah aku merindu

12 tahun sudah bentakan mudabir itu terngiang dan hilang kurindu
12 tahun sudah kerinduan tamparan iqob itu menggangguku
12 tahun sudah kurindu pukulan rotan di sekujur tubuhku
12 tahun sudah pukulan di kepalaku menjelang subuh menyadarkanku
12 tahun sudah kurindu kakiku yg tak menapak bergelora dalam kebangkitanku
12 tahun sudah tamparanku mengkonversi marhalah dendam yang berlalu
12 tahun sudah pukulan rotanku menghantamku dengan teriakan cinta yang bisu
12 tahun sudah kerinduan terkapar diatas sajadah di depan teras mantiqohku
12 tahun sudah kurindu keheningan malam yang penuh tangisan santri baru dan qolbu
12 tahun sudah rinduku terlelap di lantai masjid beralaskan sejadah kumalku
12 tahun sudah hidupku di ganggu mimpi-mimpi yang menyerang bulu kudukku
12 tahun sudah kerinduan berteman dengan kecemasan, kelucuan, kemarahan, kebencian mencekamku, menggetarkan dan menghempaskanku di pojok ruang bersejarah penuh magic dan sakral untuk suatu perjuangan yang bebeda jalan tapi satu
12 tahun sudah bayangan sejarah mujahid dan mujtahid menyadarkanku kesucianmu
12 tahun sudah kurindu mencium tangan kiyaiku, ustadzku dan mbok dapurku

12 tahun sudah....................................

JOMBANG KALI DESEMBER 2009